Pada bahasan ini akan kita pelajari sejarah awal perkembangan seni rupa di Indonesia. Bahasan yang ada penulis batasi hanya pada sejarah seni rupa masa Kolonial/penjajahan. 

Sejarah seni rupa modern Indonesia. 
    Perkembangan seni rupa modern di Indonesia dimulai pada masa kolonial atau masa penjajahan. Apabila merunut pada literatur sejarah seni rupa modern yang ada di Indonesia akan kita dapati bahwa keberadaan aliran-aliran seni rupa yang ada dan berkembang di nusantara merupakan pengaruh dari aliran –aliran seni rupa yang berkembang di negara-negara barat (eropa). Karena dalam sejarah perjalanannya perkembangan seni rupa yang ada di nusantara bukan merupakan proses yang kontinyu dan menjadi, namun proses menemukan atau hanya meneruskan aliran-aliran yang telah ada dan berkembang di negara-negara barat (terutama eropa).
    Perjalanan sejarah seni rupa modern yang ada di Indonesia di mulai dari masa kolonial sejak adanya R. Saleh syarif Bustaman -yang merupakan pelukis yang mendapat pengaruh didikan dari seniman-seniman barat (eropa)- sampai masa kini. Bentuk seni rupa modern yang berkembang di Indonesia didominasi oleh karya seni lukis.
    Perjalanan sejarah seni rupa modern di Indonesia adalah bentuk perjuangan melawan penjajahan kolonial, tarik ulur kepentingan sosial politik kekuasaan dan adanya kepentingan ekonomi sesaat yang terjadi dalam sejarah perjalanan seni rupa modern di Indonesia. Berikut ini adalah periode perkembangan seni rupa Indonesia.
 
1. Periode kolonial / masa perjuangan kemerdekaan.
    Sejarah seni rupa modern di Indonesia berawal dari persinggungan budaya klasik Indonesia -masa Hindu, Budha dan Islam- dengan budaya barat yang dibawa oleh para penjajah bangsa Indonesia. Dinamika perjalanan seni rupa modern di Indonesia pada masa kolonial dapat diringkas menjadi beberapa periode perjalanan. Periode-periode tersebut adalah : 
Periode seni rupa masa R. Saleh Syarif Bustaman (1811-1877) 
    Raden Saleh Syarif Bustaman dapat dianggap sebagai pelopor seni rupa modern Indonesia karena ia merupakan orang Indonesia pertama yang menguasai dan memperkenalkan seni rupa (seni lukis) dengan corak dan teknik dari barat pada bangsa Indonesia. Raden Saleh lahir pada tahun 1811 di terboyo semarang dari keturunan keluarga bangsawan.

karya raden saleh tahun 1840, memburu singa (sumber: http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/raden-saleh)

    Orang yang pertama kali mengajarkan teknik melukis cara barat dalam bentuk “easel painting” pada raden Saleh adalah seorang seniman berkebangsaan belgia yang bernama A.A.J. Payen. A.A.J Payen sebagai pembimbing melihat cepatnya perkembangan bakat dan kemampuan seni lukis yang dimiliki R.Saleh sehingga berinisiatif mengusulkan R. Saleh untuk belajar seni lukis di Negeri Belanda.
    Di negeri Belanda R. Saleh dibimbing oleh pelukis potret Cornelius Krusmen dan Andreas Schelfhout. Perlu diketahui pada saat itu seni lukis dengan gaya/corak/aliran romantisme sangat mempengaruhi karya seni lukis yang ada di Eropa, sehingga apabila diperhatikan karya seni lukis R. Saleh juga tidak lepas dari pengaruh gaya seni aliran Romantisme seperti karya-karya seni lukis Delacroix. R. Saleh tinggal di Eropa Kurang lebih selama 20 tahun.
    Setelah tinggal di eropa selama 20 tahun, Raden Saleh kemudian kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1851. Di Indonesi dia bekerja sebagai pemelihara koleksi seni pemerintah kolonial belanda. Sekitar tahun 1870, ia kembali lagi ke eropa dan tinggal di sana selama empat tahun. Sekembalinya ke jawa, dia pindah ke Bogor kemudian tinggal dan menetap sampai meninggal pada tahun 1877.
Semasa hidupnya sebagai seorang pelukis, Raden saleh tidak mempunyai kawan sesama pelukis Indonesia dan tidak mempunyai murid yang mewarisi kemampuan melukisnya. Kesendiriannya dalam berkarya seni yang menyebabkan ia tidak bisa memprakarsai aliran baru seni rupa Indonesia. Hal ini menyebabkan kegiatan seni rupa Indonesia setelah raden saleh meninggal mengalami stagnasi. 
 
Periode seni rupa Mooi Indie 
    Kurang lebih setengah abad setelah meninggalnya R.Saleh, kegiatan seni rupa di Indonesia kembali menunjukkan keberadaannya. Kegiatan seni  lukis di Indonesia muncul dari kalangan pelukis-pelukis asing yang tinggal di Indonesia seperti, Ernest Dezenje, Rudolf Bonnet, Walter Spies dan Arie Smite. Tiga nama terakhir adalah para pelukis yang mempengaruhi dinamika gaya lukisan Bali tradisional.
walter spies, legenda bali,oil oncanvas, 1929
ernest dezentje, pemandangan gunung salak dari Tjampen, oil on kanvas,1951
rudolf bonnet_wqterdragsters, conte crayon on paper,1950
arie smit, padi fields, oil on canvas, 1976

    Selain pelukis dari barat terdapat pula pelukis dari Indonesia dan Cina seperti, Abdullah Suryo Subroto, Basuki Abdullah, RM Pirngadi, wakidi, Suharso, Lee Man Fong dan Siauw Tik Kwie.

Abdullah suryo Subroto, Pemandangan disekitar Gunung Merapi, Oil on canvas 1900-1930
Basuki Abdullah, Upacara pembakaran jenazah di bali, Oil on canvas 1940-1960
RM Pringadi, Kampung Jawa, Oil on canvas 1919
Karya chris suharso
Karya wakidi: balai desa di minahasa
karya Lee man fong, Duduk bersimpuh, oil on canvas 1940-1950
karya siauw tiek kweie, Penari bali, oil on canvas 1913
 
       Secara umum tema lukisan yang diangkat para pelukis Indonesia maupun barat, nampaknya hampir sama yakni tentang keadaan alam Indonesia yang indah, molek, tenang dan damai dengan corak naturalisme yang melukiskan pemandangan alam atau flora fauna Indonesia yang terlihat indah dan molek.
    Tema-tema lukisan yang demikian dianggap oleh para pelukis yang juga pejuang, tidak mencerminkan kondisi real bangsa Indonesia yang terjajah dan tidak ada semangat pergerakan perjuangan di dalamnya. Oleh karenanya S. Sudjojono seorang pelukis dan pejuang mengejeknya dengan sebutan aliran lukisan “Mooi Indie” atau Indonesia molek. 
 
Periode seni rupa masa persagi. 
    Periode ini adalah bentuk gerakan yang berdasar pada sikap nasionalisme para seniman pada masa penjajahan. Periode ini ditandai dengan berdirinya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang berpandangan bahwa karya seni seharusnya mencerminkan sosial budaya yang ada secara nyata serta dapat menjadi media untuk memberi semangat perjuangan dan nasionalisme yang bercorak Indonesia.
    Tujuan Persagi dipertegas dengan pernyataan Sudjojono yang merupakan salah satu pengagas persagi pada, bahwa “tiap seniman nomer satu mesti berdasar watak, seorang seniman mesti berani dalam segala-galanya terutama berani dalam memberikan idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapat tanggapan baik dari publik sekalipun.”
Dancer karya Agus Djaya
 
    Modal anggota Persagi bukanlah kecakapan teknik menggambar, melainkan semangat dan keberanian. Tidak ada guru akademis yang mengajari dan tidak ada seorangpun anggota Persagi yang pernah belajar di akademi seni rupa. Mereka belajar secara otodidak dan saling berbagi pengalaman. Seta dari majalah-majalah seni rupa luar negeri yang kebetulan ada pada saat itu. Sehingga secara kualitas visual karya seniman persagi masih kalah dengan karya seniman yang beraliran mooi indie.
Penjual Jamu karya Otto Djaya Suminta
Kawan-kawan revolusi karya S Sudjojono
      
    Anggota Persagi antara lain, S. Sudjojono, Agus Jaya Suminta, L sutiyoso, Rameli, Abdussalam, S Sudiarjo, Emiria Sunarsa, Saptaria, Latif, Albert Hutagalung, S Tutur, Sindhusisworo, Suaib, Sukirno, Surono, Suromo, Otto Jaya Suntara dan Hendra Jasmara. Corak lukisan yang diusung oleh anggota persagi beraliran realisme sosial, artinya bentuk lukisan yang melukiskan keadaan real masyarakat yang ada.
    Persagi bubar pada tahun 1942 seiring hengkangnya penjajah belanda dari Indonesia, dan dimulainya priode pendudukan Jepang. 
 
Periode seni rupa masa pendudukan Jepang. 
    Pada masa pendudukan Jepang kegiatan kesenian mendapat perhatian khusus dari penguasa yang ada saat itu. Pemerintahan bala tentara Jepang mendirikan lembaga kebudayaan yang di namakan Keimin Bunka Shidosho. Lembaga ini di kontrol oleh beberapa seniman Jepang diantaranya Saseo Ono dan Yamamoto. Sedangkan dari kalangan bangsa Indonesia ada Agus jaya suminta, otto jayasuntara, subanto dan trubus.
    Keimin bunka shidosho merupakan lembaga kebudayan yang didirikan oleh  penjajah Jepang dengan tujuan sebagai bagian dari politik propaganda dan upaya membatasi ruang gerak seniman-seniman nasionalis secara halus.
    Melihat kenyataan tujuan lembaga kebudayaan bentukan Jepang hanya sebagai kedok propaganda pemerintah Jepang, maka para seniman nasionalis mendirikan lembaga kebudayaan sendiri dibawah naungan putera (pusat tenaga rakyat) pimpinan Sukarno, Hatta, Dewantara dan Haji Mas Mansyur. Untuk bagian seni lukis, diserahkan kepada S Sudjojono dan Affandi dibantu beberapa seniman lain diantaranya, basuki abdullah, dullah, kartono yudhokusumo dan suromo.
Mengungsi, karya S Sudjojono 1947
 
Pengemis,1974 karya Affandi oil on canvas
    Karya-karya pelukis putera terasa lebih bergelora dalam menyuarakan penderitaan rakyat pada masa itu. Hal ini dapat diketahui dari pristiwa di tendangnya karya lukis Affandi yang melukis seorang pekerja romusha sebagai pahlawan dengan kondisi tubuh yang kurus kering dan pakaian compang camping seperti pengemis. 
 
2. Periode Setelah Kemerdekaan (1945-1965) 
Periode awal kemerdekaan
   Pada awal kemerdekaaan kegiatan seni rupa di Indonesia terlihat semarak dengan munculnya berbagai perkumpulan-perkumpulan seni rupa di berbagai tempat.
    Pada tahun 1948 di jakarta berdiri gabungan pelukis Indonesia (GPI) yang di pelopori oleh affandi dan sutikno. Pada tahun yang sama berdiri pula lembaga kebudayaan Indonesia –belanda bernama “sticousa”. Melalui sponsor “Sticousa” beberapa pelukis Indonesia mendapat kesempatan mengunjungi Belanda, pelukis tersebut antara lain muhtar apin, baharudin MS, sudjana kerton, barli dan rusli.
    Selain organisasi seniman tersebut diatas, bermunculan pula berbagai perkumpulan seni rupa yang ikut menyemarakkan kegiatan berkesenian di awal kemerdekaan. Perkumpulan-perkumpulan seniman yang bermunculan pada awal kemerdekaan diantaranya adalah sanggar matahari yang dibentuk tahun 1955 dengan anggota Puranta, alex petik, alimin dan nashar. Pada tahun yang sama, dibentuk pula perkumpulan seniman Indonesia keturunan tionghoa yang bernama “Yin Hua” yang diketuai Lee Man Fong.
    Pada tahun 1958 dibentuk yayasan seni dan desain Indonesia. Tahun 1959 muncul pula organisasi seniman Indonesia (SI). 
 
Periode politisasi seni 
    Pada tahun 1950 dikenal sebagai masa yang penuh dengan kesulitan. Kemiskinan dan kesulitan pangan menjadi bagian hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Sehingga banyak seniman menyajikan karya yang menyuarakan penderitaan rakyat kecil yang dipelopori oleh S. Sudjojono bersama afandi dan hendra melalui kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM). Sedangkan afandi dan hendra bekerja membentuk kelompok pelukis rakyat (PR).
    Kegiatan para seniman yang berusaha melukiskan penderitaan rakyat kecil menarik perhatian Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI melihat peluang yang baik dari kegiatan berkesenian sebagai alat propaganda politiknya.
    Dengan gagasan membela rakyat kecil dan memberantas kemiskinan, PKI mempengaruhi para seniman untuk bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat atau lekra yang pada praktiknya hanyalah alat propaganda politik PKI.
    Pada perkembangan selanjutnya kegiatan lekra mulai bersifat ofensif dengan berusaha menekan kelompok-kelompok diluar organisasinya melalui propaganda-propaganda yang menyudutkan yang dilakukan melaui rapat-rapat, diskusi-diskusi, artikel-artikel koran yang juga merupakan media propagandanya. Melalui Propaganda politik yang dilakukan, lekra berbendapat bahwa seni yang bisa meningkatkan apresiasi estetis rakyat adalah seni yang dimengerti rakyat.
    Melihat upaya propaganda lewat seni budaya yang dilakukan PKI, partai-partai politik pada waktu itu juga membentuk lembaga-lembaga seni budaya dibawah naungan partai yang bertujuan sebagai conter propaganda dan pelindung bagi seniman yang tidak sejalan dengan tujuan politik PKI. Maka terbentuklah Lembaga seniman budayawan muslim (lesbumi) yang bernaung di bawah partai N.U.
    Seniman yang nasionalis membentuk Lembaga kebudayaan nasional (LKN) dibawah naungan PNI. Sedangkan Partai Kristen Indonesia membentuk lembaga kebudayaan kristen Indonesia (lekrindo). Namun tetap saja terdapat seniman yang berusaha bersikap netral dalam berpolitik dan berkesenian.
    Para seniman yang bersikap netral melihat kondisi berkesenian yang tidak lagi kondusif karena seniman dalam berkarya seni telah di politisasi untuk kepentingan golongan tertentu dan adanya tekanan yang dilakukan pada golongan yang bersebrangan, sehingga mereka memandang perlunya suatu pernyataan atau manifestasi kebudayaan. Pada akhirnya para seniman yang netral dan yang telah bergabung dalam salah satu lembaga kebudayaan partai namun tidak sehaluan dengan tujuan politik partai menandatangani pernyataan bersama yang di kenal sebagai manifestasi kebudayaan (manikebu), yang secara tidak langsung terlibat dalam urusan politik.
 
Isi dari manifestasi kebudayaan adalah, 
“ kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah manifestasi kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayan nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami“.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Ditanda tangani oleh 20 orang.
Terdiri dari cendekiawan, sastrawan, dramawan, musikus dan pelukis.
 
  Pernyataan para seniman manikebu tersebut mendapat tantangan dari berbagai seniman yang berafiliasi dengan partai politik. Bahkan pidato presiden Sukarno pada tanggal 17 agustus 1964 yang secara terang terangan menganyang manikebu yang dianggap melemahkan revolusi. Sehingga para pendukung manikebu yang mempunyai jabatan resmi dicopot kemudian diperebutkan oleh orang-orang yang telah merasa mengalahkannya.
    Situasi yang tidak sehat tersebut berlangsung kurang lebih satu tahun, sebab pada 30 september 1965 terjadi penghianatan PKI yang gagal. Dan sejak saat itu segala sesuatu yang berbau PKI dihancurkan dari Indonesia. Dan sejak saat itu secara berangsur-angsur lembaga-lembaga kebudayaan yan berbau politik mulai hilang satu persatu. Sehingga situasi sesudahnya merupakan manifestasi kebebasan individu dalam kegiatan berkarya seni. 
 
referensi: 
Bastomi, S. 1986. Sejarah Seni Rupa Indonesia-I. UNNES
Arifin, Djauhar.1985.Sejarah Seni Rupa.Bandung:CV Rosda
Saidi, Acep Iwan & Setiawan, Sabana. Seni Rupa Untuk SMA dan MA Kelas XI. Bandung: Esis
Berbagai sumber

Post a Comment